Mitos mengenai HIV masih saja membayangi, meski telah
dilakukan berbagai upaya untuk menyosialikan apa dan bagaimana
perjalanan HIV/AIDS. Salah satu yang cukup sering ditanyakan adalah
kemungkinan orang dengan HIV untuk memiliki anak
. Kekhawatiran muncul tak hanya dari wanita yang positif HIV saja, tapi juga dari lelaki yang terinfeksi HIV namun memiliki pasangan yang HIVnya negatif. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan, infeksi HIV dari ibu ke bayi saat ini angkanya dapat diturunkan menjadi 2%. Meskipun masih ada kemungkinan HIV ditularkan ke anak melalui proses kehamilan dan persalinan, namun banyak usaha yang dapat ditempuh untuk meminimalisirnya.
. Kekhawatiran muncul tak hanya dari wanita yang positif HIV saja, tapi juga dari lelaki yang terinfeksi HIV namun memiliki pasangan yang HIVnya negatif. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan, infeksi HIV dari ibu ke bayi saat ini angkanya dapat diturunkan menjadi 2%. Meskipun masih ada kemungkinan HIV ditularkan ke anak melalui proses kehamilan dan persalinan, namun banyak usaha yang dapat ditempuh untuk meminimalisirnya.
Sebagai sebuah awal misalnya, adalah dengan merencanakan bagaimana
kehamilan akan terjadi. Untuk wanita yang statusnya HIV positif, cara
yang paling aman adalah dengan melakukan inseminasi buatan. Wanita
dengan status HIV positif yang memiliki pasangan dengan HIV negatif. Anda dapat pergi ke klinik fertilitas dan meminta bantuan para ahli
untuk melakukan inseminasi berteknologi tinggi.
Melakukan seks tanpa kondom pada saat wanita dalam masa ovulasi
sangat tidak disarankan bagi wanita yang pasangannya berstatus HIV
negatif. Hal ini karena masih ada risiko untuk menularkan HIV dari
wanita ke pasangannya. Kalaupun mau melakukan, maka idealnya si lelaki
harus mendapat ARV (obat anti virus HIV) sebagai profilaksis (upaya
pencegahan), sementara sang wanita sudah mendapat terapi ARV sebelumnya
dan memiliki viral load yang tak terdeteksi dalam darah.
Bila keadaan yang terjadi adalah sebaliknya, yakni lelaki dengan HIV
positif, sementara wanitanya negatif, maka hal yang dapat dilakukan
adalah metode sperm washing alias cuci sperma. Teknik ini membutuhkan
keterampilan ahli fertilitas untuk mengisolasi sperma dari cairan semen,
dan kemudian baru dilakukan inseminasi intrauterin. Mencoba hamil
dengan melakukan seks tanpa kondom juga tidak disarankan karena masih
ada kemungkinan menularkan HIV. Idealnya
kedua pasangan telah mendapat terapi dengan ARV sebelumnya.
Beberapa teknik yang tersedia di klinik fertilitas untuk membantu kehamilan pada pasangan dengan HIV adalah:

2. In utero fertilization, dengan metode ini sperma langsung diletakkan dalam rahim hingga nmemungkinkan terjadinya pembuahan.
3. In vitro fertilization, metode ini dikenal sebagai bayi
tabung. Sel telur miliki wanita diambil dan dipertemukan dengan sperma
milik lelaki dalam sebuah cawan petri. Ketika terjadi pembuahan dan
terbentuk embrio, maka embrio nantinya ditanam dalam rahim menggunakan
tabung plastik.
4. Intracytoplasmic sperm insertion, sperma dimasukkan dalam
sel telur melalui sebuah proses penyuntian, dan embrio yang terbentuk
akan diletakkan dalam saluran telur atau langsung ke rahim.
Apapun metode yang dipilih untuk terjadinya kehamilan, yang penting
adalah pengobatan ARV oleh pihak dengan status HIV positif. Pemeriksaan viral load
juga harus menunjukkan hasil yang tak terdeteksi untuk mereduksi
kemungkinan penularan HIV pada janin. Wanita dengan HIV positif yang
sedang hamil pun harus melanjutkan pengobatannya dengan ARV untuk
melindungi janin dari kemungkinan terinfeksi HIV. Tak hanya itu,
perawatan kehamilan (prenatal care) yang baik juga penting dilakukan.
Saat ini di Amerika, bayi yang lahir dari pasangan dengan status HIV
positif harus dilakukan tes HIV untuk mengetahui status bayinya. Bila
hasilnya negatif, maka tes harus dilakukan secara berkala untuk melihat
apakah ada perubahan status di bulan-bulan berikutnya. Hasil positif
bisa didapatkan pada bayi dari pasangan dengan HIV (terutama ibu yang
HIV positif), karena tubuh bayi selama dalam kandungan mengembangkan
antibodi terhadap HIV. Hal ini dapat bertahan hingga bayi berusia 18
bulan. Pengobatan ARV juga harus dipertimbangkan pemberiannya pada bayi
yang lahir dari ibu berstatus HIV positif yang tidak mendapat ARV selama
kehamilannya.
Operasi caesar dikatakan dapat mengurangi kemungkinan transmisi HIV
dari ibu ke anak saat proses persalinan. Apapun metode persalinan yang
dipilih haruslah mempertimbangkan risiko dan manfaat baik bagi bayi
maupun ibunya. Sementara untuk proses menyusui, dikatakan bahwa virus
HIV terdapat dalam air susu, sehingga menyusui dapat menningkatkan
risiko transmisi dari ibu ke anak. Sejauh ini penelitian mengatakan
bahwa risiko transmisi melalui air susu tertinggi pada 6 bulan pertama.
Selama masih bisa mendapatkan air bersih dan susu formula, maka ibu yang
berstatus HIV positif sebisa mungkin memberikan susu formula pada
bayinya sebagai makanan utama.jadi, sangat disarankan bagi wanita dengan
HIV positif untuk tidak menyusui bayinya demi menghindari risiko
penularan HIV dari ibu ke bayinya.
Source :dr. Gina Anindyajati
By.PL,PP,PA
0 Response to "Planing Kehamilan dengan Status HIV positif"
Posting Komentar
Mohon berkomentar dengan baik dan sopan demi kenyamanan bersama.